Lakukan Reses di Kampung Suaran, Madri Pani Akan Kawal Usulan Warga Hingga Terealisasi

SAMBALIUNG, HARIAN UTAMA- Guna menyerap aspirasi warga secara langsung di daerah pemilihannya (Dapil) Ketua DPRD , Madri Pani gelar reses masa sidang I tahun 2023 di Kampung Suaran, Kecamatan Sambaliung. (07/02/2023).
Madri mengungkapkan, dari beberapa aspirasi disampaikan salah satunya ialah terkait keberadaan dan geliat Pemkab Berau dan Pihak ketiga dalam hal ini investor dan pengusaha tambang yang berada di wilayah sekitar Kampung Suaran.
Dirinya menyebut, ada beberapa usulan dan aspirasi yang masuk antara lain, akses jalan menuju fasilitas pendidikan, jalan usaha tani dan perkebunan dan jaringan listrik, serta pembangunan gedung gereja, di samping sarana prasarana olahraga dan bantuan sosial.
Menanggapi aspirasi warga itu, Madri mengungkapkan bahwa keluhan warga tentu berangkat dari kenyataan selama ini tidak ada tindak lanjut yang dilakukan oleh Pemkab Berau meskipun berbagai Musrenbang terus dilaksanakan setiap tahun.
“Ya, tentunya kalau sudah ditindaklanjuti pastinya tidak disuarakan lagi oleh masyarakat,” bebernya.
Usulan pertama dikatakannya, terkait jalan usaha pertanian dan perkebunan. Jalan usaha pertanian dan perkebunan, baginya, merupakan masalah terbesar warga yang mesti ditangani segera. Pasalnya, peningkatan jalan usaha tani itu tidak hanya mendukung petani untuk mengangkut hasil-hasil pertanian dan perkebunannya. Kehadirannya juga mendukung ketahanan pangan masyarakat di kampung dan daerah.
“Indonesia ini sebenarnya sudah krisis. Resesi ekonomi membuat negara bisa tumbang. Tapi kehidupan masyarakat tampaknya terlihat berjalan normal karena memang memiliki ketahanan pangan yang mencukupi,” terangnya.
Selain membantu perekonomian warga dan penunjang ketahanan pangan, jalan usaha tani menjadi prioritas yang mesti ditangani mengingat 75 persen warga Suaran berprofesi sebagai pekebun sawit dan kakao.
“Kenapa jalan usaha tani saya lebih respon, karena masih lambannya respon pemerintah walau sebenarnya sudah selalu disinggung setiap kali Musrenbang,” tegasnya.
Selain itu, kata dia hal ini tidak hanya menjadi kelalaian dari Pemda. Pihak ketiga, investor tambang yang membangun usaha tambangnya di wilayah itu juga mesti bertanggung jawab.
“Keberadaan pihak ketiga, di suatu daerah seharusnya bisa menyejahterahkan masyarakatnya. Bukan sebaliknya membatasi ruang gerak masyarakat sehingga ekonomi mereka tidak bisa berjalan,” ungkap Madri.
Karena itu, pembangunan sarana prasarana atau fasilitas pendukung di bidang pertanian dan perkebunan ini harus dijamin. Sebab, masyarakat tidak mungkin menjalankan aktivitas di kebunnya melewati jalan tambang yang berbahaya dan riskan.
“Jangan sampai, potensi alam kita dikeroyok, tapi masyarakat di sekitarnya menderita. Itu nah, ada apa,” imbuhnya.
Menurutnya, kehadiran tambang juga seharusnya bisa berkolaborasi dengan BUMK agar mampu menunjang dan memperkuat ekonomi warga termasuk ketahanan pangan masyarakat Suaran.
Permasalahannya,Perda Berau yang mengatur hal itu belum ada. Kendala regulasi ini pada akhirnya menyebabkan kehadiran tambang hanya bisa memperdayai masyarakat, bukan sebaliknya memberdayakan mereka.
“Contoh, ikan. Ibu-ibu bisa diberdayakan dalam catering, atau pihak pertambangan bisa kerja sama dengan BUMK. Sekarang CSR-nya saja tidak jelas,”
Madri pun memastikan untuk membantu warga meningkatkan jalan usaha pertanian dan perkebunan masyarakat Suaran dengan meminta bantuan Dinas Pertanian dan Perkebunan. Selain itu, Madri berjanji akan menyelesaikan persoalan itu pada APBD Perubahan.
“Di perubahan, akan saya tuntaskan jalan usaha tani,” janjinya.
Atas janji itu, warga Suaran pun telah menyerahkan proposal peningkatan jalan usaha tani dan perkebunan, guna mempertahankan ketahanan pangan di kampungnya, di wilayah lingkar tambang Ring 1 tersebut.
Kedua, akses jalan menuju sekolah. Meskipun jalan usaha tani yang ingin dibantunya, pendidikan juga tetap menjadi perhatiannya. “Soal pendidikan, saya juga dari dulu teriak-teriak. Tapi bukankah 20 persen dari APBD dianggarkan untuk pendidikan? Itu semestinya sudah menjadi kewenangan dinas terkait,” tegasnya.
Hanya anehnya, masih ada saja sekolah yang satu dua jam dari kota, fasilitas pendidikannya terbengkalai. Di Suaran sendiri, terdapat 900 jumlah siswa/i SD.

“Ada satu sekolah. Fasilitas pendidikan di sekolah itu sudah ada, Tapi akses jalannya belum ada.Dalam Musrenbang, saya juga sudah pertanyakan apakah sudah ada evaluasi terkait hal itu? Jangan sampai ada anak-anak miskin yang tidak sekolah setelah lulus gara-gara pemetaan sistem zona,” tegasnya.
Ketiga, masalah jaringan listrik dan jaringan telepon. Di Suaran masalah jaringan listrik sering bermasalah. Lampu sering padam. Padahal listrik ini sangat membantu ekonomi dan pendidikan warga.
“Masyarakat butuh listrik untuk menjalankan usahanya. Anak-anak sekolah juga butuh listrik apalagi untuk proses belajar malam,” sambungnya.
Jika pemerintah hanya memprioritaskan hal itu di kota memang pembangunan akan tidak setara. “Lalu bicara soal membangun wifi itu, membangun di mana? Masih banyak daerah di Kelay dan Segah masih blank spot. Tempat ekowisata kita di Maratua juga masih banyak yang blank spot,” bebernya.
Kalau hanya di kota, lanjut Madri, itu bukan program. Program itu, mengatasi suatu masalah, mencarikan solusinya, kan begitu. Kalau dalam kota, tidak perlu disampaikan,” lanjutnya.
Ketiga, pembangunan gedung gereja. Selama ini, ungkap Madri pembangunan tiga gereja di Suaran belum disentuh Pemda. Padahal bangunan gereja tidak hanya menjadi tempat ibadah bagi umut nasrani.
“Bagaimana menyelesaikan masalah kriminal, narkoba dan masalah bangsa yang lain juga disampaikan di dalam gereja. Kalau masyarakat membangunnya secara gotong-royong, mau sampai kapan?”
Tiga masalah utama itu, bagi Madri memang perlu diatasi. Menjadi soal, akhir-akhir ini banyak anggaran pembangunan yang tidak sepenuhnya terserap. Pada akhirnya anggaran itu dikembalikan ke pusat.
“Jika pemerintah tidak menyerahkan sepenuhnya atau memberi ruang bagi aspirasi masyarakat di lembaga DPRD maka saya yakin tidak ada yang namanya Silpa. Daripada diserahkan ke OPD terkait yang ujung-ujungnya, tiap mau akhir tahun, Silpa itu tinggi, yang rugi siapa, ya rakyat, ya masyarakat.
Akhirnya pembangunan jalan di wilayah perkotaan, yang sebenarnya masih bagus, misalnya, malah menjadi prioritas.
“Yang sudah bagus, malah dibagusin,” kata dia. Kalau pemerintah pusat dan daerah mau bijak, lanjutnya, pemerintah seharusnya dapat menerapkan dari APBD dipotong 10 persen untuk direalisasikan kepada masyarakat melalui ADK. (*/fer/adv).