Sangatta – Angka kemiskinan di Kabupaten Kutai Timur (Kutim) menunjukkan tren peningkatan, berdasarkan data terbaru dari Badan Pusat Statistik (BPS) Kalimantan Timur (Kaltim). Persentase kemiskinan di Kutim meningkat dari 36,84 persen pada tahun 2022 menjadi 37,04 persen pada tahun 2023. Data ini dihasilkan melalui pendekatan kebutuhan dasar (basic needs approach), yang menilai kemiskinan berdasarkan ketidakmampuan ekonomi masyarakat untuk memenuhi kebutuhan dasar, baik makanan maupun bukan makanan.
Pendekatan ini mendefinisikan masyarakat miskin sebagai mereka yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan. Namun, data ini mendapatkan perhatian dan tanggapan kritis dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kutim, Agusriansyah Ridwan, yang mempertanyakan metode yang digunakan oleh BPS.
Agusriansyah, politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), mengungkapkan bahwa hasil pengukuran kemiskinan dapat berbeda jika menggunakan metode yang berbeda. Menurutnya, variasi dalam sampling dan kriteria indikator kemiskinan yang digunakan dapat mempengaruhi hasil akhir yang ditampilkan.
“Dalam sisi sampling, termasuk kriterianya pada saat sampling diambil dalam penelitian berbeda, termasuk kriteria indikator miskin kita ubah, bisa saja hasil yang sering ditampilkan itu juga berubah,” ujar Agusriansyah Ridwan.
Ia menambahkan bahwa pemerintah pernah terkejut dengan angka kemiskinan yang disajikan oleh BPS. Namun, setelah melakukan analisis dengan indikator yang berbeda, hasilnya menunjukkan bahwa jumlah orang miskin di Kutim tidak sebesar yang dilaporkan.
“Pemerintah pernah terkejut karena melihat angka orang miskin, tapi setelah kita coba dengan indikator yang kita buat sendiri, saya rasa tidak sebesar itu orang miskin di Kutim,” sambungnya.
Agusriansyah juga menyatakan bahwa kemungkinan data yang dihimpun BPS mencakup orang-orang yang baru tiba di Kutim dan belum mendapatkan pekerjaan. Menurutnya, hal ini bisa mempengaruhi angka kemiskinan yang dilaporkan.
“Orang yang datang ke Kutim untuk mengadu nasib, tidak sedikit juga. Mereka yang datang belum tentu langsung bekerja. Tapi pada saat pendataan dia terdata belum mendapatkan pekerjaan, bisa saja dikategorikan orang yang tidak mampu,” jelasnya.
Ia juga menekankan bahwa di Kutim, peluang kerja cukup banyak, asalkan masyarakat mau bekerja. Bahkan, ia menyebutkan bahwa ada kemungkinan data kemiskinan juga mencakup orang-orang yang memang tidak memiliki niat untuk bekerja.
“Bisa orang yang tidak punya niat untuk bekerja. Karena di Kutai Timur ini, asal orang mau bekerja aja, Insya Allah ada pendapatan,” tandasnya.
Agusriansyah berharap agar data kemiskinan yang digunakan benar-benar mencerminkan kondisi riil masyarakat Kutim, sehingga langkah-langkah penanggulangan kemiskinan dapat lebih tepat sasaran. (adv)