Faizal Rachman Apresiasi Masyarakat Adat yang Melindungi Hutan Kalimantan

Sangatta– Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kutai Timur (Kutim), Faizal Rachman, memberikan apresiasi tinggi kepada masyarakat adat yang berhasil menjaga hutan Kalimantan dari ancaman pertambangan. Usaha masyarakat adat ini, menurut Faizal, merupakan kontribusi besar dalam perlindungan lingkungan yang patut dicontoh.

Salah satu kelompok masyarakat adat yang diakui perannya adalah masyarakat di sekitar hutan lindung Wahea, yang didampingi oleh kolega Faizal, Siang Geah. Masyarakat adat ini telah menunjukkan komitmen yang kuat dalam mempertahankan hutan mereka dari upaya penambangan yang berulang kali mencoba memasuki wilayah mereka.

“Seperti yang dilakukan masyarakat di sekitar hutan lindung Wahea. Mereka didampingi anggota DPRD Kutim, Siang Geah. Masyarakat menjaga betul hutan mereka. Beberapa kali tambang mau masuk, tapi tidak pernah berhasil. Karena hutan mereka dilindungi masyarakat adat,” ungkap Faizal Rachman.

Konsistensi masyarakat adat dalam menjaga hutan tersebut tidak hanya mendapatkan apresiasi dari dalam negeri, tetapi juga dari luar negeri. Faizal menjelaskan bahwa masyarakat adat bahkan menerima kompensasi finansial sebagai imbalan atas upaya mereka dalam melindungi hutan.

“Masyarakat adat ini penting, sebagai penjaga hutan. Dengan menjaga hutan itu, mereka juga mendapat uang. Bahkan sempat yang saya dengar sampai Rp 40 juta per kepala keluarga,” tambahnya.

Sumber pendapatan ini berasal dari mekanisme yang dikenal sebagai jualan karbon, di mana negara-negara yang tidak memiliki hutan membayar masyarakat adat untuk menjaga hutan yang memproduksi oksigen.

“Mereka mendapat uang itu karena, hutan itukan memproduksi oksigen. Oksigen ini bukan cuma Indonesia yang menikmati, tapi juga seluruh dunia. Kalau kita menjaga hutan sekian hektare, itu ada kalkulasi hitungan uangnya. Mereka dibayar sama negara yang tidak memiliki hutan. Ini biasa disebut jualan karbon,” terangnya.

Namun, Faizal juga menyoroti tantangan yang dihadapi, yaitu izin pinjam pakai kawasan hutan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat. Izin tersebut sering kali dikeluarkan tanpa melibatkan Pemerintah Daerah dan DPRD, yang berakibat pada kurangnya pengawasan terhadap dampak lingkungan dari kegiatan investasi.

Tiap mengeluarkan izin, Pemerintah Pusat selalu meminta kompensasi kepada investor. Kompensasi itu, mereka harus menanam pohon di sepanjang aliran sungai.

“Kompensasinya, kalau pusat biasa menempatkan, mereka harus berinvestasi dengan menanam sepanjang aliran sungai. Itu wajib sebagai laporan mereka ke pusat, bahwa memang mereka diberikan izin,” ungkapnya.

“Tapi kan, kalau reboisasi kita tidak tahu, setelah mereka foto-foto, mereka tidak lagi peduli dengan apa yang mereka tanam, apakah tumbuh atau tidak. Makanya kita lebih baik menjaga yang ada itu, daripada kawasan hutan dibuka, lalu direboisasi, jarang juga yang jadi,” sambungnya.

Faizal berharap agar Pemerintah Daerah dan DPRD lebih dilibatkan dalam proses pemberian izin.

“Makanya kami berharap, Pemerintah Daerah dilibatkan dalam proses pemberian izin. Sebab kita tak mau, investasi masuk jor-joran tapi tidak memperhatikan dampak lingkungan. Kalau ada bencana, yang sibuk kita di daerah,” pungkasnya.

Dengan demikian, Faizal Rachman menekankan pentingnya kolaborasi antara masyarakat adat, pemerintah daerah, dan pemerintah pusat untuk memastikan perlindungan hutan Kalimantan dilakukan secara efektif dan berkelanjutan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *